Jumat, 30 Oktober 2015

MOTIVASI ISLAM "AL-QURAN DAN HADIST"

Kumpulan Kata Kata Bijak Islami

 

KAWAN TAK TAU KAH ENGKAU BAHWA DALAM SATU SURAT DALAM AL QURAN SAJA TUHAN MEMOTIVASI 2 KALI DAN MEMBERI SOLUSI DUA KALI DALAM SATU MASALAH.

"ORANG YANG MENGANGGAP DIRINYA TAWADHU DAN RENDAH HATI, MAKA PERCAYALAH BAHWA DIALAH ORANG YANG BENAR- BENAR SOMBONG"


"BIARKAN MASA LALU MU PAHIT KAWAN. TAPI INGAT MASA DEPAN MU MASIH SUCI. JANGAN KOTORI MASA DEPAN MU DENGAN KEGELAPAN MASA LALU MU" BANGKITLAH..!!!


"KETIKA SALAH SATU PINTU TERTUTUP, MAKA SEBENARNYA PINTU YANG LAIN TERBUKA. NAMUN SAYANGNYA KITA TERLALU TERPAKU KEPADA PINTU YANG TERTUTUP, HINGGA MEMBUTAKAN MATA KITA UNTUK MELIHAT PINTU YANG TERBUKA" :)


Tidak perlu membakar selimut yang baru hanya karena seekor kutu, begitu pula aku tidak perlu membuang muka darimu hanya karena kesalahan yang sesungguhnya tidak berarti. 
Karena cinta semua yang pahit akan menjadi manis. Karena cinta tembaga akan menjadi emas. Karena cinta sampah menjadi jernih. Karena cinta yang mati akan menjadi hidup dan karena cinta yang raja akan menjadi budak. 
Sesungguhnya kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan dan kebathilan sebaliknya dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan. 
Tidak diterima ucapan tanpa perbuatan, tidak akan lurus (benar) ucapan dan perbuatan tanpa niat, dan tidak lurus (benar) ucapan, perbuatan dan niat, kecuali dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. 
Kesabaran itu bermahkota keimanan. Orang yang kehilangan kesabarannya sama dengan tidak beriman. Nabi bersabda bahwa allah tidak memberikan iman kepada orang yang bersifat pemarah. 
Diantara tanda seseorang mengikuti nawa nafsu adalah bersegera melakukan amaliyah-amaliyah yang sunnah namun malas untuk menegakkan yang bersifat wajib. 
Jika hanya sebatas keluar dari lisan, niscaya hanya akan sampai ke telinga. Namun, jika yang keluar dari hati niscaya akan sampai ke hati. 
Wahai hati, kembalilah kepada sejatimu, karena jauh di dalam dirimu, engkau akan menemukan jalan menuju tuhan yang tercinta. 
Nikmat sehat akan terasa jika kita pernah sakit. Nikmat harta akan terasa jika kita pernah susah, dan nikmat hidup akan terasa jika kita pernah mendapatkan musibah. Musibah adalah awal dari kenikmatan hidup... Bahagianya hidup dengan manisnya iman dan menjadikan allah sebagai tujuan hidup.  
Sanjungan orang lain yang ditujukan kepadamu, itu karena indahnya penutup allah yang ada padamu atas aibmu.


SEDIKIT MOTIVASI SAJA YA

Senin, 19 Oktober 2015

MOTIVASI ISLAMI

Kumpulan Kata Kata Bijak Islami

Tidak perlu membakar selimut yang baru hanya karena seekor kutu, begitu pula aku tidak perlu membuang muka darimu hanya karena kesalahan yang sesungguhnya tidak berarti. 
Karena cinta semua yang pahit akan menjadi manis. Karena cinta tembaga akan menjadi emas. Karena cinta sampah menjadi jernih. Karena cinta yang mati akan menjadi hidup dan karena cinta yang raja akan menjadi budak. 
Sesungguhnya kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan dan kebathilan sebaliknya dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan. 
Tidak diterima ucapan tanpa perbuatan, tidak akan lurus (benar) ucapan dan perbuatan tanpa niat, dan tidak lurus (benar) ucapan, perbuatan dan niat, kecuali dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. 
Kesabaran itu bermahkota keimanan. Orang yang kehilangan kesabarannya sama dengan tidak beriman. Nabi bersabda bahwa allah tidak memberikan iman kepada orang yang bersifat pemarah. 
Diantara tanda seseorang mengikuti nawa nafsu adalah bersegera melakukan amaliyah-amaliyah yang sunnah namun malas untuk menegakkan yang bersifat wajib. 
Jika hanya sebatas keluar dari lisan, niscaya hanya akan sampai ke telinga. Namun, jika yang keluar dari hati niscaya akan sampai ke hati. 
Wahai hati, kembalilah kepada sejatimu, karena jauh di dalam dirimu, engkau akan menemukan jalan menuju tuhan yang tercinta. 
Nikmat sehat akan terasa jika kita pernah sakit. Nikmat harta akan terasa jika kita pernah susah, dan nikmat hidup akan terasa jika kita pernah mendapatkan musibah. Musibah adalah awal dari kenikmatan hidup... Bahagianya hidup dengan manisnya iman dan menjadikan allah sebagai tujuan hidup.  
Sanjungan orang lain yang ditujukan kepadamu, itu karena indahnya penutup allah yang ada padamu atas aibmu.


SEDIKIT MOTIVASI SAJA YA

TEORI BAHASA MENURUT LEONARD BLOOMFIELD



TEORI BAHASA LEONARD BLOOMFIELD

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Teori-Teori Kebahasaan

Dosen Pengampu: Prof. DR. Matsna, M.A


FERKI AHMAD MARLION


Magister Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah
2015




A.    PENDAHULUAN
Nama Leonard Bloomfield (1877-1949) sangat terkenal karena bukunya yang berjudul language (terbit pertama kali tahun 1933), dan selalu dikaitkan dengan aliran struktural Amerika. Istilah Strukturalis sebenarnya dapat dikenakan kepada semua aliran linguistik, sebab semua aliran linguistik pasti berusaha menjelaskan seluk beluk bahasa berdasarkan strukturnya. Namun, nama strukturalisme lebih dikenal dan menyatu kepada nama aliran linguistik yang dikembangkan oleh Bloomfield dan kawan-kawannya di Amerika. Aliran ini berkembang pesat di Amerika pada tahun tiga puluhan sampai akhir tahun lima puluhan. Suatu hal yang menarik dari ciri aliran strukturalisme Amerika ini adalah cara kerja yang sangat menekan pentingnya data objektif untuk menerima suatu bahasa.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai:
1.      Siapakah Leonard Bloomfield
2.      Bagaimana teori bahasa menurut Bloomfield?
3.      Apa ciri-ciri aliran teori Bloomfield?
4.      Siapa saja tokoh aliran teori Bloomfield?














B.     PEMBAHASAN
1.      Profil dan Teori Bahasa Leonard Bloomfield
Leonard Bloomfield lahir pada tanggal 1 April 1887 di Chicago. Dia lulus dari Harvard College pada usia 19 dan melanjutkan pascasarjana selama 2 tahun di University of Wisconsin, dimana ia juga mengajar di Jerman. Bloomfield menerima gelar doctor dari University of Chicago pada tahun 1909.[1]
Leonard Bloomfield (1887 – 1949) merupakan salah seorang ahli linguistik struktural yang terkenal di Amerika Serikat. Pengaruhnya sangat kuat dan masih terasa sampai kini. Karyanya meliputi bahasa-bahasa India, Bahasa Tagalog, Linguistik Umum dan Kesusastraan. Bukunya yang paling berpengaruh adalah Language (1933).  Banyak murid dan pengikutnya. Beberapa karyanya dikumpulkan oleh C.F. Hockett dalam A. Leonard Bloomfield Anthology. Dalam pengkajian bahasa, Bloomfiled menggunakan konsep Ferdinand de Saussure sebagai asas pengkajian, yaitu dalam struktur bahasa.
Selain menjadi seorang ahli linguistik, Bloomfield juga terkenal dengan teori behaviorisme yang percaya bahwa proses bahasa ini berpuncak dari proses peniruan atau mimetic. Setiap perkataan yang dilafalkan pasti mempunyai struktur. Sebagai contoh, sekiranya seseorang individu itu menyebut rumah, strukturnya mesti rumah, bukan hamur atau maruh. Beliau lebih mengutamakan bahasa lisan sebagai objek kajian dan menyebabkan wujudnya Linguistik Deskriptif. Berkenaan bahasa dan struktur, Bloomfield mengetengahkan kaidah penganalisisan struktur yaitu kaidah pemenggalan. Sebelum mengikuti aliran behaviorisme dari Watson dan Weiss, Bloomfield menganut paham mentalisme  yang sejalan dengan teori psikologi Wundt. Kemudian beliau menentang mentalisme dan mengikuti aliran perilaku atau behaviorisme. Hal ini sangat  berpengaruh terhadap perkembangan Linguistik Amerika. Bloomfield menerangkan makna semantik dengan rumus-rumus behaviorisme. Akibatnya makna tidak dikaji oleh linguis-linguis lain yang menjadi pengikutnya. Unsur-unsur linguistik diterangkan berdasarkan distribusi unsur- unsur tersebut di dalam lingkungan (environment) di mana unsur-unsur itu berada.[2]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya aliran ini. Di antaranya pada masa itu para linguis di Amerika menghadapi masalah yang sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian yang belum diperikan. Mereka ingin memerikan bahasa-bahasa Indian itu dengan cara baru, yaitu secara sinkronik. Cara lama yaitu secara historis atau diakronik kurang bermanfaat dan diragukan keberhasilannya karena sejarah bahasa-bahasa Indian sedikit sekali diketahui, bahkan banyak yang hampir sama sekali tidak diketahui.
Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan dengan iklim filsafat yang berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat behaviorisme. Oleh karena itu, dalam memberikan bahasa aliran strukturalisme ini selalu berdasarkan diri pada fakta-fakta objektif yang dapat dicocokan dengan kenyataan-kenyataan yang dapat diamati. Juga tidak mengherankan kalau masalah makna atau arti kurang mendapat perhatian. Malah ada linguis Amerika yang sangat terpengaruh oleh Bloomfield bertindak lebih jauh lagi dengan meninggalkan makna sama sekali. Misalnya, Zellig S. Harris dengan bukunya Structural Linguistics. Ketidakpedulian kelompok strukturalis Amerika terhadap makna ini adalah berdasar pada cara kerjanya yang sangat bersandar pada data empirik. Makna tidak dapat diamati secara empirik. Berbeda dengan fonem, morfem, dan kalimat yang bisa diamati, dan bisa disegmentasikan[3]

2.      Ciri-Ciri Aliran Struktural Bloomfield
Aliran struktural Bloomfield berkembang pesat di Amerika pada tahun 1950-an dan hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan linguistik Amerika, terutama di sekolah linguistik YALE yang didirikan menurut ajarannya. 
Suatu hal yang menarik dari ciri aliran strukturalisme Amerika ini adalah cara kerja yang sangat menekan pentingnya data objektif untuk menerima suatu bahasa.
Pendekatan bersifat empirik. Data di kumpulkan dengan cermat, setapak demi setapak. Bentuk-bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis diklasifikasi berdasarkan distribusinya.
Unsur­ -unsur linguistik diterangkannya berdasarkan distribusi unsur-unsur tersebut di dalam lingkungan (environment) di mana unsur-unsur itu berada. Distribusi dapat diamati secara langsung sedangkan makna tidak dapat.[4]
Teori linguistik Bloomfield ini akan bisa diterangkan dengan lebih jelas kalau kita mengikuti anekdot “Jack and Jill” (Bloomfield, 1933:26). Dalam anekdot itu diceritakan Jack dan Jill sedang berjalan-jalan. Jill melihat buah apel yang sudah masak di sebatang pohon. Jill berkata kepada Jack bahwa dia lapar dan ingin sekali makan buah apel itu. Jack memanjat pohon apel itu; memetik buah apel itu; dan memberikannya kepada Jill. Secara skematis peristiwa itu dapat digambarkan sebagai berikut.
Penjelasan
 S                                      R …… S               R
(1)           (2)    (3)            (4)      (5)           (6)            (7)
Keterangan:
(1)  Jill melihat apel (S= stimulus)
(2) Otak Jill bekerja mulai dari melihat apel hingga berkata kepada Jack.
(3) Perilaku atau kegiatan Jill sewaktu berkata kepada Jack (R = respons)
(4) Bunyi-bunyi atau suara yang dikeluarkan Jill waktu berbicara kepada Jack (…)
(5) Perilaku atau kegiatan Jack sewaktu mendengarkan bunyi-bunyi atau suara yang dikeluarkan Jill (S=stimulus)
(6) Otak Jack bekerja mulai dari mendengar bunyi suara Jill sampai bertindak.
(7) Jack bertindak memanjat pohon, memetik apel, dan memberikan kepada Jill (R = respons).
Nomor (3), (4), dan (5) yaitu (r s) adalah lambang atau perilaku berbahasa (speech act) yang dapat diobservasi secara fisiologis; sedangkan yang dapat diamati atau diperiksa secara fisik hanyalah nomor (4).
Berdasarkan keterangan di atas maka yang menjadi data linguistik bagi teori Bloomfield adalah perilaku berbahasa atau lambang bahasa (r…………………….. s) dan hubungannya dengan makna (S  R). Apa yang terjadi di dalam otak Jill mulai dari (1) hingga (2) sampai dia mengeluarkan bunyi tidaklah penting karena keduanya tidak dapat diamati. Begitu juga dengan proses yang terjadi di dalam otak Jack setelah dia mendengar bunyi-bunyi itu yang membuatnya bertindak (5 dan 6) adalah juga tidak penting bagi teori Bloomfield ini.[5]
Menurut Bloomfield bahasa merupakan sekumpulan ujaran yang muncul dalam suatu masyarakat tutur (speech community). Ujaran inilah yang harus dikaji untuk mengetahui bagian-bagiannya. Lalu, bagi Bloomfield bahasa adalah sekumpulan data yang mungkin muncul dalam suatu masyarakat. Data ini merupakan ujaran-ujaran yang terdiri dari  potongan- ­potongan perilaku (tabiat) yang disusun secara linear.
Menurut Bloomfield bahasa itu terdiri dari sejumlah isyarat atau tanda berupa unsur-unsur vokal (bunyi) yang dinamai bentuk-bentuk linguistik. Setiap bentuk adalah sebuah kesatuan isyarat yang dibentuk oleh fonem-fonem.
Umpamanya:
Pukul adalah bentuk ujaran.
Pemukul adalah bentuk ujaran.
Pe- adalah bentuk bukan ujaran
Pukul terdiri dari empat fonem, yaitu : /p/, /u/, /k/, dan /l/. Di sini fonem /u/ digunakan dua kali.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa setiap ujaran adalah bentuk, tetapi tidak semua bentuk adalah ujaran. Menurut Bloomfield ada dua macam bentuk, yaitu:
(1) Bentuk bebas (Free Form), yakni bentuk yang dapat diujarkan sen­dirian seperti bentuk Amat, jalan, dan kaki dalam kalimat “Amat jalan kaki”,
(2) Bentuk terikat (Bound Farm) yakni bentuk linguistik yang tidak dapat diujarkan sendirian seperti bentuk pe- pada kata pemukul; dan bentuk -an seperti pada kata pukulan.[6]
Bloomfield dalam analisisnya berusaha memenggal-menggal bagian -bagian bahasa itu, serta menjelaskan hakikat hubungan di antara bagian­-bagian itu. Jadi, kita lihat bagian-bagian itu mulai dari fonem, morfem, kata, frase, dan kalimat. Oleh karena itu, teori Bloomfield ini disebut juga linguistik taksonomik karena memotong-motong bahasa secara hierarkial untuk mengkaji bagian-bagiannya atau strukturnya.[7]
Dalam teori linguistik Bloomfield ada beberapa istilah/term yang perlu dikenal, yaitu:
Fonem adalah :  Satuan bunyi terkecil dan distingtif dalam leksikon suatu bahasa, Seperti bunyi [u] pada kata bahasa Indonesia /bakul/ karena bunyi itu merupakan bunyi distingtif dengan kata /bakal/. Di sini kita lihat kedua kata itu, /bakul/ dan /bakal/, memiliki makna yang berbeda karena berbedanya bunyi [u] dari bunyi [a].
Morfem adalah : Satuan atau unit terkecil yang mempunyai makna dari bentuk leksikon. Umpamanya dalam kalimat Amat menerima hadiah terdapat morfem : Amat, me-, terima, dan hadiah.
Kata adalah : Bentuk bebas yang minimum yang terdiri dari satu bentuk bebas dan ditambah bentuk-bentuk yang tidak bebas. Misalnya, pukul, pemukul, dan pukulan adalah kata, sedangkan pe-, dan -an bukan kata; tetapi semuanya pe-, -an, dan pukul adalah morfem.
Frase adalah : Unit yang tidak minimum yang terdiri dari dua bentuk bebas atau lebih. Umpamanya dalam kalimat Adik saya sudah mandi terdapat dua buah frase, yaitu frase adik saya dan frase sudah mandi.
Kalimat adalah ujaran yang tidak merupakan bagian dari ujaran lain dan merupakan satu ujaran yang maksimum. Misalnya Amat duduk di kursi, Amat melihat gambar, dan Ibu dosen itu cantik.[8]

3.      Tokoh-Tokoh Aliran Struktural Bloomfield
Di samping Leonard Bloomfield sendiri, tokoh- tokoh lain dalam aliran struktural Bloomfield adalah Zellig S. Harris dengan bukunya Structural Linguistics. Seorang linguis Amerika yang sangat terpengaruh oleh Bloomfield bahkan bertindak lebih jauh lagi dengan meninggalkan makna sama sekali.
C. Hull seorang pencetus teori mediasi (mediational theory); Kemudian dilanjutkan oleh C. Osgood seorang murid Hull yang telah memperluas teori  mediasi dalam rangka untuk menjelaskan gejala bahasa. Perbedaan antara teori  S – R yang murni dengan teori mediasi; Teori mediasi membahas variabel perantara (intervening variables) yang terjadi antara  S dan R. pendekatan nonbehavioris ini mempertanyakan proses mental dan proses berpikir dalam menganalisis tingkah laku manusia sehingga ia menyimpulkan bahwa tingkah laku manusia   dalam berbahasa, menitikberatkan pada “meaning”  atau makna. Menurut teori ini “meaning” dari suatu kata atau kalimat adalah mediator antara stimulus luar (eksternal) dan tingkah laku eksternal (yang tampak). Meskipun hubungan antara stimulus dengan respon bersifat tidak langsung, “meaning” itu tidak terjadi begitu saja, melainkan diperoleh melalui conditioning  atau kondisi seperti halnya proses belajar yang lain.[9]


C.    PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dan analisis data, dapat disimpulkan bahwa aliran strukturalisme Bloomfield muncul sebagai penolakan atas telaah bahasa yang bersifat diakronis. Aliran strukturalisme Bloomfield memilih menggunakan telaah sinkronis. Telaah sinkronik adalah  mempelajari suatu bahasa dalam kurun waktu tertentu. Salah satu ciri aliran Struktural Bloomfield menganggap bahasa merupakan sekumpulan ujaran yang muncul dalam suatu masyarakat tutur (speech community). Ujaran inilah yang harus dikaji untuk mengetahui bagian-bagiannya. Dengan demikian yang menjadi objek kajian adalah bahasa-bahasa yang masih ada masyarakat pemakainya, bukan bahasa yang mati.




DAFTAR PUSTAKA

Bloomfield, Leonard, Language, New York: Holt,Rinehat and Winston, 1933
Chaer, Abdul,  Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Parera, Daniel Jos, Kajian Linguistik Umum Historis dan tipologi Struktural, Jakarta: Erlangga, 1991
Verhaar, J.W.M. Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gajah Mada, 2008




[1] http://www.academia.edu/3632003/Teori_Leonard_Bloomfield#signup/email diakses pada tanggal 20 September 2015, pukul 20.30 WIB
[3] Abdul Chaer,  Linguistik Umum. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 359
[4] Daniel Jos Parera, Kajian Linguistik Umum Historis dan tipologi Struktural, (Jakarta: Erlangga, 1991), hal. 360
[5],Leonard Bloomfield, Language, (New York: Holt,Rinehat and Winston, 1933), hal. 26
[6] Ibid, hal. 158
[7] Abdul Chaer,  Linguistik Umum, … hal. 360
[8] Verhaar, J.W.M. Asas-Asas Linguistik Umum. (Yogyakarta: Gajah Mada, 2008), hal. 47

bahasa representasi budaya



BAHASA REPRESENTASI BUDAYA BANGSA

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Isu-Isu Kontemporer Kebahasaan



FERKI AHMAD MARLION


Magister Pendidikan Bahasa Arab
Fakultasi Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2015


BAHASA REPRESENTASI BUDAYA BANGSA

A.   PENDAHULUAN
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Secara sosiolinguistik, bahasa dan masyarakat adalah dua hal yang saling berkaitan, keduanya memiliki hubungan mutualistik; antara yang satu dengan yang lain saling ada ketergantungan, membutuhkan, dan menguntungkan. Ujaran dan bunyi jelas disebut sebagai bahasa jika berada dan digunakan oleh masyarakat. Demikian pula, masyarakat tidak dapat eksis dan bertahan (survive) tanpa adanya bahasa yang digunakan sebagai alat berinteraksi dan berkomunikasi di antara mereka.
Bahkan, lembaga–lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat pun dipertahankan dan dikembangkan dengan menggunakan alat yang bernama bahasa. Jadi, tiada aktivitas dalam kehidupan ini yang dapat dipisahkan dari bahasa.









B.   PEMBAHASAN
1.      Hakikat Bahasa
Menurut teori struktural, bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional. Berkaitan dengan ciri sistem, bahasa dapat bersifat sistematik dan sistemik. Bahasa bersifat sistematik karena mengikuti ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur. Bahasa juga bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem atau subsistem-subsistem. Misalnya, subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis, subsistem semantik dan subsistem leksison.[1]
Bahasa itu bersifat produktif, artinya dengan sejumlah unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Bahasa bersifat dinamis, maksudnya bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja; fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan leksikon. Bahasa itu beragam, artinya meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam. Bahasa itu bersifat manusiawi, artinya bahasa sebagai alat komunikasi verbal hanya dimiliki manusia.
Ciri-ciri bahasa seperti yang disebutkan di atas, yang menjadi indikator akan hakikat bahasa menurut pandangan linuistik umum yang melihat bahasa sebagai bahasa. Menurut pandangan sosiolinguistik, bahasa juga mempunyai ciri sebagai alat interaksi sosial dan alat mengidentifikasikan diri.[2]
Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling hubungan antar anggota. Untuk keperluan itu dipergunakan suatu wahana yang dinamakan bahasa.
Adanya bahasa memungkinkan manusia memikirkan sesuatu dalam benak kepalanya meskipun objek yang sedang dipikirkannya itu tidak berada di dekatnya. Manusia dengan kemampuan berbahasanya memungkinkannya untuk memikirkan suatu masalah secara terus menerus.
Dengan bahasa bukan saja manusia dapat berpikir secara teratur namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang ia pikirkan kepada orang lain. Dengan bahasa manusia dapat mengekspresikan sikap dan perasaan. Dengan adanya bahasa, hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik dinyatakan dengan bahasa.[3]
Di atas telah disebutkan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Jika kita mengkaji fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat secara lebih terperinci, kita dapat membedakan empat golongan fungsi bahasa: (1) fungsi kebudayaan, (2) fungsi kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, dan (4) fungsi pendidikan. Keempat macam fungsi itu tentu berkaitan juga, sebab ‘perorangan’ adalah anggota ‘masyarakat’ yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan pola-pola ‘kebudayaannya’ yang diwariskan dan dikembangkan melalui ‘pendidikan’.[4]

2.      Hakikat Kebudayaan
Kata budaya atau kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.[5]
Menurut Nababan, kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara dan dilestarikan. Dengan kata lain, kebudayaan itu adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan, termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan yakni bahasa dan alat-alat komunkasi non verbal lainnya.
Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Menurutnya, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan atau di bawah lingkup kebudayaan. Tetapi kata Koentjaraningrat pula, pada zaman purba ketika manusia hanya terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang tersebar di beberapa tempat saja di muka bumi ini, bahasa merupakan unsur utama yang mengandung semua unsur kebudayaan lainnya. Sekarang, setelah unsur-unsur lain dari kebudayaan manusia telah berkembang, bahasa hanya merupakan salah satu unsur saja. Namun fungsinya sangat penting bagi kehidupan manusia.[6]
Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kuntjaraningrat secara lebih terinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencarian serta sistem teknologi dan peralatan.
Salah satu cara berpikir tentang budaya adalah dengan mengkontraskannya dengan alam (nature). Alam mengacu kepada apa yang dilahirkan dan tumbuh secara organik sedangkan budaya mengacu kepada apa yang telah dikembangkan dan dipelihara.
Dari sudut pandang pemakaian bahasa dan pengajarannya, budaya dibagi ke dalam formal culture dan deep culture. Formal culture kadangkala mengacu kepada “culture with a capital C” meliputi manifestasi-menifestasi dan kontribusi kemanusiaan yakni seni, musik, karya sastra, arsitektur, teknologi, dan politik. Bagaimanapun dengan sudut pandang budaya seperti ini, kita sering kehilangan pandangan budaya dari sisi individual.
Deep culture atau “culture with a small c,” memfokuskan kepada pola-pola perilaku atau gaya hidup manusia. Kapan dan apa yang kita makan, sikap dan perilaku manusia kepada teman dan anggota keluarganya, bagaimana manusia berekspresi, yang mana yang mereka gunakan ketika menyetujui dan menolak.[7]
Dari beberapa pengertian budaya yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya adalah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, bahasa, teknologi serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain melalui tindakan manusia dan melalui komunikasi linguistik.
3.      Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw malah menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan dua sistem yang ”melekat” pada manusia. Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana.
Masinambouw juga mempersoalkan bagaimana hubungan antara kebahasaan dan kebudayaan itu, apakah bersifat subordinatif ataukah bersifat koordinatif. Kalau bersifat subordinatif mana yang menjadi main system dan mana pula yang menjadi subsystem. Kebanyakan ahli memang mengatakan bahwa kebudayaanlah yang menjadi main system, sedangkan bahasa hanya merupakan subsystem,
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yaitu hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang terikat erat seperti hubungan sisi satu dengan sisi yang lain pada sekeping uang logam. Jadi, pendapat ini mengatakan kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan, sejalan dengan konsep Masinambouw. Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat controversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir dan Whorf.
Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan kedua sarjana itu, Sapir dan Whorf, adalah hasil penelitian yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya sangat tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka disebutkan dalam hipotesisnya sangat kontroversial dengan pendapat sebagaian besar sarjana. Dalam hipotesis itu, dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikir manusia. Suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan memilki corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia tersebut bersumber dari perbedaan bahasa,. Bahasa itu memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya. Contoh, katanya dalam bahasa Barat ada sistem kala yaitu penutur bahasa memerhatikan dan terikat waktu, misalnya pada musim panas pukul 21.00 matahari masih bersinar dengan terang, tetapi kanak-kanak karena sudah menjadi kebiasaan disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala, menjadi tidak memperhatikan waktu, seperti acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu jam. Itulah sababnya uangkapan jam karet hanya ada di Indonesia.
Hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang arab, akan terlihat kenyataan secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Kalau hipotesis Sapir-Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan manusia mempunyai satu jalan pikiran. Dikemukakan oleh Masinambouw bahwa bahasa itu hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran dan bahasa itu bersifat unik. Dengan kata lain, bahasa tidak memengaruhi jalan pikiran, apalagi menentukan seperti yang dinyatakan oleh hipotesis Sapir-Whorf.
Sapir dan Whorf, dua sarjana linguistik yang begitu berbobot, sampai bisa membuat pernyataan yang begitu kontrovesional dengan mengatakan bahwa bahasa sangat berperan dalam menentukan jalan pikiran manusia, bahkan bersifat mutlak. Kajian antropologi yang dijadikan landasan, telah menunjukkan kepada kedua sarjana itu, bahwa pembentukan konsep-konsep tidaklah sama pada semua kultur. Para ahli yang menolak pendapat bahwa kita mempunyai konsep lebih dahulu kemudian baru mencarikan nama untuk konsep itu, tentunya bisa menerima pikiran Safir dan Whorf. Akan tetapi, penganut aliran mentalistik tidak dapat menerima sama sekali hipotesis tersebut.
Orang yang mengikuti hipotesis Sapir-Whorf tidak banyak. Pertama, karena sejak semula orang meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan yang sejauh itu. Kedua, diketahui kemudian bahwa Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajian.
Menurut Koentjaraningrat buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya, adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat negatif itu adalah suka meremehkan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin, enggan bertanggung jawab, dan suka latah atau ikut-ikutan.
Menurut Koentjaraningrat, sikap mental menerabas tercermin dalam perilaku berbahasa berupa adanya keinginan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tetapi tanpa keinginan untuk belajar. Mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa kita yang secara alami, yang dapat dikuasai tanpa harus dipelajari. Memang benar secara politis kita adalah orang Indonesia, karena lahir dan dibesarkan di Indonesia, dan bahasa Indonesia adalah milik kita. Akan tetapi, apakah benar itu dapat dikuasai dengan baik tanpa melalui proses belajar. Lebih-lebih kalau diingat bahwa bagi sebagian besar orang Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua, bukan bahasa pertama. Untuk menguasai bahasa pertama saja kita harus belajar dari lingkungan kita: apabila untuk menguasai bahasa kedua yang harus dipelajari dari orang lain.
Sikap tuna harga diri, menurut Koentjaraningrat, berarti tidak mau menghargai milik diri sendiri, tetapi sangat menghargai diri orang lain, orang asing. Sikap ini tercermin dalam perilaku berbahasa, karena ingin selalu menghargai orang asing, maka menjadi selalu menggunakan bahasa asing dan menomorduakan bahasa sendiri. Lihat saja buktinya, demi menghargai orang asing, keset-keset di muka pintu kantor pemerintahan pun bertuliskan kata-kata welcome bukan selamat datang; pintu-pintu di atas bertuliskan in atau exit, dan bukan masuk atau keluar; dan di pintu yang daunnya dapat dibuka dua arah bertuliskan petunjuk push dan pull, dan bukannya dorong dan tarik.
Sikap menjauhi disiplin tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti aturan atau kaidah bahasa. Ujaran-ujaran seperti Dia punya mau tidak begitu atau Dia punya dua mobil sudah lazim kita dengar, padahal kedua struktur kalimat itu tidak sesuai dengan kaidah yang ada. Harusnya berbunyi, Kemauannya tidak demikian, dan Dia mempunyai dua buah mobil.
Sikap tidak mau bertanggung jawab menurut Koentjaraningrat, tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau memerhatikan penalaran bahasa yang benar. Kalimat seperti “Uang iuran anggota terpaksa dinaikkan karena sudah lama tidak naik”, sering kita dengar. Kalau mau menalar dan bertanggung jawab, alasan kenaikan itu bukanlah karena sudah lama tidak naik, mungkin, misalnya, karena sudah tidak sesuai lagi dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Jadi, bertanggung jawab dalam berbahasa, artinya, dapat mempertanggungjawabkan kebenaran isi kalimat itu.
Sifat latah atau ikut-ikutan tercermin dalam berbahasa dengan selalu mengikuti saja ucapan orang lain (biasanya ucapan pejabat atau pemimpin) yang sebenarnya secara gramatikal tidak benar. Umpamanya karena adanya gerakan yang bersemboyankan “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” maka diikuti ucapan itu. Padahal secara semantik dan gramatikal ungkapan, “memasyarakatkan olahraga” memang benar, yakni berarti menjadikan olah raga itu menjadi kebiasaan dalam masyarakat; tetapi ungkapan, “Mengolahragakan masyarakat”, tidak benar, sebab ungkapan itu berarti „masyarakat itu jadi olah raga‟. Kalau yang dimaksud adalah menjadikan masyarakat itu berolah raga, maka bentuknya haruslah, “ memperolahragakan masyarakat”.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan yang telah dipaparkan oleh Koentjaraningrat di atas, ternyata yang memengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya di sini dalam arti luas, termasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur.
Untuk lebih memahami adanya hubungan budaya dan tindak tutur, serta melihat budaya-budaya yang tidak sama, sehingga melahirkan pola tindak tutur yang berbeda, camkan ilustrasi berikut. Dalam masyarakat tutur Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya dengan mengatakan “Bajumu bagus sekali!”, atau , “Wah rumah saudara besar sekali”, maka yang dipuji akan menjawab pujian itu dengan nada menolak merendah, misalnya dengan mengatakan “Ah, ini cuma baju murah kok” dan , “yah, beginilah namanya juga rumah di kampung!”. Akan tetapi kalau itu terjadi dalam budaya Inggris, tentu akan dijawab dengan kata “Terima kasih!”. Contoh lain, dalam budaya Indonesia hanya laki-laki yang dapat mengawini atau menikahi wanita, sedangkan wanita tidak dapat mengawini atau menikahi laki-laki, sebab kalimat dalam budaya Inggris, baik laki- laki maupun wanita dapat menikahi lawan jenisnya. Dalam budaya Indonesia, informasi (dalam bentuk tindak tutur) lebih sering disampaikan secara tidak langsung dengan menggunakan bahasa kias atau bahasa isyarat, tetapi dalam budaya Inggris lebih umum disampaikan secara langsung dengan alat komunikasi verbal.[8]
Dengan demikian menjadi jelas bahwa berbahasa memang menunjukkan bagaimana sebuah komunitas atau bangsa berbudaya. Antara berbahasa dan berbudaya menunjukkan hubungan timbal balik. Untuk mempertahankan budaya maka berbahasa menjadi sebuah kelaziman. Demikian juga untuk mempertahankan bahasa, keberlangsungan budaya sangat penting walaupun budaya adalah naluri dari kehidupan manusia itu sendiri sebagai makhluk social.

4.      Potret Bahasa dan Budaya Bangsa Arab
Adanya ragam bahasa dalam bahasa Arab, mulai dengan fusha dan ‘ammiyah, ragam baku dan non baku, dan sebagainya. Pada zaman pra-Islam, bangsa Arab sudah mengalami kemajuan dalam bidang sastra. Ini ditandai dengan adanya festival sastra Ukaz, di mana pemenangnya akan mendapat kehormatan berupa dipamerkannya karya tersebut di Ka’bah dengan tulisan emas yang kemudian dikenal dengan al-sab’ah al mu’allaqat[9]. Tujuh karya ini merupakan karya terbaik dari para penyair Arab dari berbagai kabilah dan suku.
Bangsa Arab menggunakan bahasa untuk mengungkapkan derajat yang tinggi dan luhur dengan kefasihan lidahnya dalam mengungkapkan bahasa. Bahasa arab dipandang memiliki bahasa yang padat, efektif dan singkat yang akhirnya digunakan dalam Alquran sebagai bahasa mushaf resmi dan disepakati sampai sekarang. Di sinilah kemukjizatan dinilai, yaitu dari ungkapan bahasa yang digunakan.
Dalam perkembangannya, Bahasa Arab menyebar sampai ke luar jazirah Arab seiring dengan menyebarnya agama Islam. Selain itu, Bahasa Arab menjadi symbol nasionalisme Arab ketika Islam mulai menyebar ke berbagai wilayah. Dari berbagai suku dan kabilah, bahkan bangsa yang berbeda, kemudian disatukan oleh Bahasa Arab. Bahasa Arab dengan demikian menjadi identitas bangsa Arab. Inilah yang kemudian mendorong dirumuskannya bahasa Arab baku yang harus disepakati sebagai lingua franca.[10]
Bahasa Arab masuk ke Indonesia seiring dengan masuknya Islam. Ini tidak bisa dipungkiri, karena dominasi keagamaan dalam berbahasa Arab sangat kuat. Pesan -pesan moral keagamaan ( Islam ) tertulis dalam bahasa Arab. Dengan kata lain Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Masuknya bahasa  Arab ke Indonesia pun membawa pengaruh dan dampak yang cukup berarti dalam tatanan kebudayaan masyarakat. Dan proses akulturasi budayapun menjadi satu keniscayaan.
Peranan bahasa Arab dalam kebudayaan nasional telah mengambil bagian penting sejak berkembangnya agama Islam di Nusantara pada abad XIII dan sampai saat ini masih dirasakan peranannya secara leksikal maupun semantik. Hal ini terlihat pada berbagai bidang. Misalnya pada upacara sekaten di Kraton Surakarta dan Yogyakarta, upacara perkawinan, khataman, khitanan, kata sakral atau mantera-mantera yang dipakai oleh masyarakat Indonesia adalah menggu-nakan huruf atau kata-kata bahasa Arab. Bahkan ungkapan-ungkapan tertentu yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia secara meluas dan merakyat dengan menggunakan bahasa Arab.
Dalam hal pengajaran bahasa secara umum, termasuk bahasa Arab untuk orang non-Arab, mengetahui budaya Arab merupakan hal yang lazim. Karena aspek bahasa bukan hanya makna saja tetapi hal yang melingkupi konteks bahasa itu sendiri.[11] Rusydi Ahmad Thu’aimah menyatakan bahwa bahasa adalah budaya. Kaitan ini sangat erat karena lewat bahasalah unsur-unsur budaya dapat terhubung dengan jalinan yang erat.[12] Sementara Albert Valdman mengemukakan bahwa untuk menjadi guru bahasa asing, aspek mengenai budaya harus dikuasai juga, selain penguasaan struktur bahasa itu sendiri. Meskipun budaya dalam arti yang minimalis mungkin. Karena kalau harus mengetahui seluk-beluk budaya secara detail justru akan memerlukan waktu yang lama untuk mempelajarinya. Karena lewat bahasa itu sendiri, hakekatnya budaya sudah dipelajari.
Persoalan non linguistik ini juga menjadi kendala keberhasilan pembelajaran yakni kondisi sosio-kultural bangsa Arab dengan non Arab (Indonesia). Problem yang mungkin muncul ialah bahwa ungkapan-ungkapan, istilah-istilah dan nama-nama benda yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia tidak mudah dan tidak cepat dipahami oleh pembelajar Indonesia yang sama sekali belum mengenal sosial dan budaya bangsa Arab. Contoh ungkapan “ السيل الزبا بلغ ” /balagha al-sail al-zuba, maknanya adalah “nasi telah menjadi bubur”, bukan “air bah telah mencapai tempat tinggi”. Selain itu, peribahasa “الرماء تملأ الكنائن  قبل ” /qabla al-rimâ’ tumla’u al-kanâin (sebelum memanah, penuhi dulu tempat anak panahmu), di Indonesia, pribahasa ini sama maknanya atau diartikan dengan pribahasa “sedia payung sebelum hujan”. Latar belakang sosial budaya orang Arab dahulu adalah sering mengadakan perang, maka mereka mengatakan pribahasa seperti itu. Sedangkan bangsa kita sering mengalami musim hujan, maka kita menggunakan pribahasa itu.[13] Jadi, pengetahuan tentang konteks sosio-kultural pemilik bahasa yang dipelajari sangat penting, karena dengan pengetahuan tersebut diharapkan dapat lebih cepat memahami pengertian dari ungkapan-ungkapan, istilah-istilah dan benda-benda yang khas bagi bahasa Arab serta mampu menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut pada situasi dan waktu yang tepat.
Bahasa Arab diajarkan di Indoensia lebih dominan karena bahasa Arab merupakan bahasa Alquran dan Hadits. Oleh karena itu yang nampak dalam pengajaran Bahasa Arab adalah bahwa mempelajarinya sekaligus mempelajari agama Islam. Dengan demikian sebetulnya mempelajari Bahasa Arab adalah mempelajari budaya Islam. Inilah yang mendasari pentingnya mengajarkan Bahasa Arab dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam.




C.    KESIMPULAN



DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta, 2010
Duranti,  Alessandro Linguistic Anthropology. Melbourne: Cambridge University, 1997
Hitti, Philip K. History Of The Arabs, terj. R. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi. Jakarta: Penerbit Serambi, 2006 cet ke-2
Nababan, Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia. 1984
Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002, Cet. I
Suriasumantri, Jujun S Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983
Thu’aimah, Rusydi Ahmad Ta’lim al lughah al ‘Arabiyyah li Ghairi al Nathiqina biha; manahijuhu wa asalibuhu, Rabat, 1989
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol 4, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993
Umam, Chatibul,  Problematika Pengajaran Bahasa Arab, Jurnal al-Turats, No. 8, 1999
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya diakses pada tanggal 16 Sept 2015, 09.13 WIB






[1] Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), Cet. I, hal. 1
[2] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 12-14
[3] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983), hal. 177
[4] Nababan, Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. (Jakarta: PT Gramedia. 1984), hal. 38
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya diakses pada tanggal 16 Sept 2015, 09.13 WIB
[6] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, . . ., hal. 164-165
[7] Alessandro Duranti,  Linguistic Anthropology. (Melbourne: Cambridge University, 1997), hal. 24
[8] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, . . ., hal. 165-171
[9] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, terj. R. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi. ( Penerbit Serambi, Jakarta, 2006 ) cet ke-2. h. 112
[10] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol 4 ( PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993) h. 2-4
[11] Rusydi Ahmad Thu’aimah, Ta’lim al lughah al ‘Arabiyyah li Ghairi al Nathiqina biha; manahijuhu wa asalibuhu, Rabat, 1989, h. 18
[12] Ibid, hal. 28
[13] Chatibul Umam, Problematika Pengajaran Bahasa Arab, Jurnal al-Turats, No. 8, 1999, h. 11-12.