BAHASA
REPRESENTASI BUDAYA BANGSA
Makalah ini
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Isu-Isu
Kontemporer Kebahasaan

FERKI AHMAD MARLION
Magister
Pendidikan Bahasa Arab
Fakultasi Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2015
BAHASA REPRESENTASI BUDAYA BANGSA
A.
PENDAHULUAN
Ada berbagai
teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu
merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa
dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang
sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa
sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam
kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan
bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau
masyarakat penuturnya.
Secara
sosiolinguistik, bahasa dan masyarakat adalah dua hal yang saling berkaitan,
keduanya memiliki hubungan mutualistik; antara yang satu dengan yang lain
saling ada ketergantungan, membutuhkan, dan menguntungkan. Ujaran dan bunyi
jelas disebut sebagai bahasa jika berada dan digunakan oleh masyarakat.
Demikian pula, masyarakat tidak dapat eksis dan bertahan (survive) tanpa adanya
bahasa yang digunakan sebagai alat berinteraksi dan berkomunikasi di antara
mereka.
Bahkan,
lembaga–lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat pun dipertahankan dan
dikembangkan dengan menggunakan alat yang bernama bahasa. Jadi, tiada aktivitas
dalam kehidupan ini yang dapat dipisahkan dari bahasa.
B.
PEMBAHASAN
1. Hakikat Bahasa
Menurut teori
struktural, bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional. Berkaitan dengan ciri
sistem, bahasa dapat bersifat sistematik dan sistemik. Bahasa bersifat
sistematik karena mengikuti ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang
teratur. Bahasa juga bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri merupakan
suatu sistem atau subsistem-subsistem. Misalnya, subsistem fonologi, subsistem
morfologi, subsistem sintaksis, subsistem semantik dan subsistem leksison.[1]
Bahasa itu bersifat produktif, artinya dengan
sejumlah unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang
hampir tidak terbatas. Bahasa bersifat dinamis, maksudnya bahasa itu tidak
terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja; fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik dan leksikon. Bahasa itu beragam, artinya meskipun sebuah
bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu
digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan
kebiasaan berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam. Bahasa itu bersifat
manusiawi, artinya bahasa sebagai alat komunikasi verbal hanya dimiliki
manusia.
Ciri-ciri bahasa seperti yang disebutkan di atas,
yang menjadi indikator akan hakikat bahasa menurut pandangan linuistik umum
yang melihat bahasa sebagai bahasa. Menurut pandangan sosiolinguistik, bahasa
juga mempunyai ciri sebagai alat interaksi sosial dan alat mengidentifikasikan
diri.[2]
Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi
sosial. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling hubungan antar anggota.
Untuk keperluan itu dipergunakan suatu wahana yang dinamakan bahasa.
Adanya bahasa memungkinkan manusia memikirkan
sesuatu dalam benak kepalanya meskipun objek yang sedang dipikirkannya itu
tidak berada di dekatnya. Manusia dengan kemampuan berbahasanya
memungkinkannya untuk memikirkan suatu masalah secara terus menerus.
Dengan bahasa
bukan saja manusia dapat berpikir secara teratur namun juga dapat
mengkomunikasikan apa yang sedang ia pikirkan kepada orang lain. Dengan bahasa
manusia dapat mengekspresikan sikap dan perasaan. Dengan adanya bahasa, hidup
dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik dinyatakan
dengan bahasa.[3]
Di atas telah disebutkan bahwa fungsi
bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Jika kita mengkaji fungsi bahasa sebagai
alat komunikasi dalam masyarakat secara lebih terperinci, kita dapat membedakan
empat golongan fungsi bahasa: (1) fungsi kebudayaan, (2) fungsi kemasyarakatan,
(3) fungsi perorangan, dan (4) fungsi pendidikan. Keempat macam fungsi itu
tentu berkaitan juga, sebab ‘perorangan’ adalah anggota ‘masyarakat’ yang hidup
dalam masyarakat itu sesuai dengan pola-pola ‘kebudayaannya’ yang diwariskan
dan dikembangkan melalui ‘pendidikan’.[4]
2. Hakikat Kebudayaan
Kata budaya atau kebudayaan
itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia.[5]
Menurut Nababan, kebudayaan adalah sistem
aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat
terjadi, terpelihara dan dilestarikan. Dengan kata lain, kebudayaan itu adalah
segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan atau hukum yang
berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan dan
tradisi yang biasa dilakukan, termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang
digunakan yakni bahasa dan alat-alat komunkasi non verbal lainnya.
Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan itu
hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat
manusia. Menurutnya, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan atau di bawah
lingkup kebudayaan. Tetapi kata Koentjaraningrat pula, pada zaman purba ketika
manusia hanya terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang tersebar di beberapa
tempat saja di muka bumi ini, bahasa merupakan unsur utama yang mengandung
semua unsur kebudayaan lainnya. Sekarang, setelah unsur-unsur lain dari
kebudayaan manusia telah berkembang, bahasa hanya merupakan salah satu unsur
saja. Namun fungsinya sangat penting bagi kehidupan manusia.[6]
Kebudayaan
diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Kuntjaraningrat secara
lebih terinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi
dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencarian serta sistem teknologi dan
peralatan.
Salah satu cara berpikir tentang
budaya adalah dengan mengkontraskannya dengan alam (nature). Alam
mengacu kepada apa yang dilahirkan dan tumbuh secara organik sedangkan budaya
mengacu kepada apa yang telah dikembangkan dan dipelihara.
Dari sudut pandang pemakaian bahasa
dan pengajarannya, budaya dibagi ke dalam formal culture dan deep
culture. Formal culture kadangkala mengacu kepada “culture with a
capital C” meliputi manifestasi-menifestasi dan kontribusi kemanusiaan
yakni seni, musik, karya sastra, arsitektur, teknologi, dan politik.
Bagaimanapun dengan sudut pandang budaya seperti ini, kita sering kehilangan
pandangan budaya dari sisi individual.
Deep culture atau “culture with a small c,” memfokuskan
kepada pola-pola perilaku atau gaya hidup manusia. Kapan dan apa yang kita
makan, sikap dan perilaku manusia kepada teman dan anggota keluarganya,
bagaimana manusia berekspresi, yang mana yang mereka gunakan ketika menyetujui
dan menolak.[7]
Dari beberapa pengertian budaya yang
telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya adalah keseluruhan yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, bahasa, teknologi
serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain melalui tindakan
manusia dan melalui komunikasi linguistik.
3. Hubungan Bahasa dan
Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat bahwa bahasa bagian dari
kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang
subordinatif, dimana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Di
samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan
mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang
kedudukannya sama tinggi. Masinambouw malah
menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan dua sistem yang ”melekat” pada manusia.
Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam
masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana.
Masinambouw juga
mempersoalkan bagaimana hubungan antara kebahasaan dan kebudayaan itu, apakah
bersifat subordinatif ataukah bersifat koordinatif. Kalau bersifat subordinatif
mana yang menjadi main system dan mana pula yang menjadi subsystem. Kebanyakan
ahli memang mengatakan bahwa kebudayaanlah yang menjadi main system, sedangkan
bahasa hanya merupakan subsystem,
Mengenai
hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yaitu
hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah
fenomena yang terikat erat seperti hubungan sisi satu dengan sisi yang lain
pada sekeping uang logam. Jadi, pendapat ini mengatakan kebahasaan dan
kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat
sehingga tidak dapat dipisahkan, sejalan dengan konsep Masinambouw. Hal kedua yang menarik dalam hubungan
koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat controversial, yaitu
hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan Benjamin
Lee Whorf. Hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir dan Whorf.
Meskipun gagasan-gagasan yang
dikemukakan kedua sarjana itu, Sapir dan Whorf, adalah hasil penelitian yang
lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya sangat
tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka disebutkan dalam hipotesisnya sangat
kontroversial dengan pendapat sebagaian besar sarjana. Dalam hipotesis itu,
dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga
menentukan cara dan jalan pikir manusia. Suatu bangsa yang berbeda bahasanya
dari bangsa yang lain, akan memilki corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda
pula. Perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia tersebut bersumber
dari perbedaan bahasa,. Bahasa itu memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran
manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap
dan budaya penuturnya. Contoh, katanya dalam bahasa Barat ada sistem kala yaitu
penutur bahasa memerhatikan dan terikat waktu, misalnya pada musim panas pukul
21.00 matahari masih bersinar dengan terang, tetapi kanak-kanak karena sudah
menjadi kebiasaan disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya,
bagi orang Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala, menjadi
tidak memperhatikan waktu, seperti acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa
mundur satu jam. Itulah sababnya uangkapan jam karet hanya ada di Indonesia.
Hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan
perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan
menyebabkan orang arab, akan terlihat kenyataan secara berbeda dengan orang
Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Kalau hipotesis Sapir-Whorf
ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan
manusia mempunyai satu jalan pikiran. Dikemukakan oleh Masinambouw bahwa bahasa itu hanyalah alat
untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran dan bahasa itu bersifat unik. Dengan
kata lain, bahasa tidak memengaruhi jalan pikiran, apalagi menentukan seperti
yang dinyatakan oleh hipotesis Sapir-Whorf.
Sapir dan Whorf, dua sarjana
linguistik yang begitu berbobot, sampai bisa membuat pernyataan yang begitu
kontrovesional dengan mengatakan bahwa bahasa sangat berperan dalam menentukan
jalan pikiran manusia, bahkan bersifat mutlak. Kajian antropologi yang
dijadikan landasan, telah menunjukkan kepada kedua sarjana itu, bahwa
pembentukan konsep-konsep tidaklah sama pada semua kultur. Para ahli yang
menolak pendapat bahwa kita mempunyai konsep lebih dahulu kemudian baru
mencarikan nama untuk konsep itu, tentunya bisa menerima pikiran Safir dan
Whorf. Akan tetapi, penganut aliran mentalistik tidak dapat menerima sama
sekali hipotesis tersebut.
Orang yang mengikuti hipotesis
Sapir-Whorf tidak banyak. Pertama, karena sejak semula orang meragukan bahwa
manusia mempunyai perbedaan yang sejauh itu. Kedua, diketahui kemudian bahwa
Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajian.
Menurut Koentjaraningrat buruknya kemampuan berbahasa
Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya, adalah
karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental pada sebagian besar
orang Indonesia. Sifat-sifat negatif itu adalah suka meremehkan mutu, mental
menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin, enggan bertanggung jawab, dan
suka latah atau ikut-ikutan.
Menurut Koentjaraningrat, sikap
mental menerabas tercermin dalam perilaku berbahasa berupa adanya keinginan
untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tetapi tanpa keinginan untuk
belajar. Mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa kita yang
secara alami, yang dapat dikuasai tanpa harus dipelajari. Memang benar secara
politis kita adalah orang Indonesia, karena lahir dan dibesarkan di Indonesia,
dan bahasa Indonesia adalah milik kita. Akan tetapi, apakah benar itu dapat
dikuasai dengan baik tanpa melalui proses belajar. Lebih-lebih kalau diingat
bahwa bagi sebagian besar orang Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa
kedua, bukan bahasa pertama. Untuk menguasai bahasa pertama saja kita harus
belajar dari lingkungan kita: apabila untuk menguasai bahasa kedua yang harus
dipelajari dari orang lain.
Sikap tuna harga diri, menurut Koentjaraningrat,
berarti tidak mau menghargai milik diri sendiri, tetapi sangat menghargai diri
orang lain, orang asing. Sikap ini tercermin dalam perilaku berbahasa, karena
ingin selalu menghargai orang asing, maka menjadi selalu menggunakan bahasa
asing dan menomorduakan bahasa sendiri. Lihat saja buktinya, demi menghargai
orang asing, keset-keset di muka pintu kantor pemerintahan pun bertuliskan
kata-kata welcome bukan selamat datang; pintu-pintu di atas
bertuliskan in atau exit, dan bukan masuk atau keluar;
dan di pintu yang daunnya dapat dibuka dua arah bertuliskan petunjuk push dan
pull, dan bukannya dorong dan tarik.
Sikap menjauhi disiplin tercermin
dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti aturan atau kaidah
bahasa. Ujaran-ujaran seperti Dia punya mau tidak begitu atau Dia
punya dua mobil sudah lazim kita dengar, padahal kedua struktur kalimat itu tidak sesuai dengan kaidah yang
ada. Harusnya berbunyi, Kemauannya tidak demikian, dan Dia mempunyai
dua buah mobil.
Sikap tidak mau bertanggung jawab
menurut Koentjaraningrat, tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau
memerhatikan penalaran bahasa yang benar. Kalimat seperti “Uang iuran anggota
terpaksa dinaikkan karena sudah lama tidak naik”, sering kita dengar. Kalau mau
menalar dan bertanggung jawab, alasan kenaikan itu bukanlah karena sudah lama
tidak naik, mungkin, misalnya, karena sudah tidak sesuai lagi dengan
biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Jadi, bertanggung jawab dalam berbahasa,
artinya, dapat mempertanggungjawabkan kebenaran isi kalimat itu.
Sifat latah atau ikut-ikutan
tercermin dalam berbahasa dengan selalu mengikuti saja ucapan orang lain
(biasanya ucapan pejabat atau pemimpin) yang sebenarnya secara gramatikal tidak
benar. Umpamanya karena adanya gerakan yang bersemboyankan “memasyarakatkan
olahraga dan mengolahragakan masyarakat” maka diikuti ucapan itu. Padahal
secara semantik dan gramatikal ungkapan, “memasyarakatkan olahraga” memang
benar, yakni berarti menjadikan olah raga itu menjadi kebiasaan dalam masyarakat;
tetapi ungkapan, “Mengolahragakan masyarakat”, tidak benar, sebab ungkapan itu
berarti „masyarakat itu jadi olah raga‟. Kalau yang dimaksud adalah menjadikan
masyarakat itu berolah raga, maka bentuknya haruslah, “ memperolahragakan
masyarakat”.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan
yang telah dipaparkan oleh Koentjaraningrat di atas, ternyata yang memengaruhi
perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya di sini dalam arti luas, termasuk
sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur.
Untuk lebih memahami adanya hubungan
budaya dan tindak tutur, serta melihat budaya-budaya yang tidak sama, sehingga
melahirkan pola tindak tutur yang berbeda, camkan ilustrasi berikut. Dalam
masyarakat tutur Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya dengan mengatakan
“Bajumu bagus sekali!”, atau , “Wah rumah saudara besar sekali”, maka yang
dipuji akan menjawab pujian itu dengan nada menolak merendah, misalnya dengan
mengatakan “Ah, ini cuma baju murah kok” dan , “yah, beginilah namanya juga
rumah di kampung!”. Akan tetapi kalau itu terjadi dalam budaya Inggris, tentu
akan dijawab dengan kata “Terima kasih!”. Contoh lain, dalam budaya Indonesia
hanya laki-laki yang dapat mengawini atau menikahi wanita, sedangkan wanita
tidak dapat mengawini atau menikahi laki-laki, sebab kalimat dalam budaya
Inggris, baik laki- laki maupun wanita dapat menikahi lawan jenisnya. Dalam
budaya Indonesia, informasi (dalam bentuk tindak tutur) lebih sering
disampaikan secara tidak langsung dengan menggunakan bahasa kias atau bahasa
isyarat, tetapi dalam budaya Inggris lebih umum disampaikan secara langsung
dengan alat komunikasi verbal.[8]
Dengan
demikian menjadi jelas bahwa berbahasa memang menunjukkan bagaimana sebuah
komunitas atau bangsa berbudaya. Antara berbahasa dan berbudaya menunjukkan
hubungan timbal balik. Untuk mempertahankan budaya maka berbahasa menjadi
sebuah kelaziman. Demikian juga untuk mempertahankan bahasa, keberlangsungan
budaya sangat penting walaupun budaya adalah naluri dari kehidupan manusia itu
sendiri sebagai makhluk social.
4.
Potret Bahasa dan Budaya Bangsa Arab
Adanya ragam bahasa dalam bahasa Arab, mulai dengan fusha dan ‘ammiyah,
ragam baku dan non baku, dan sebagainya. Pada zaman pra-Islam, bangsa Arab
sudah mengalami kemajuan dalam bidang sastra. Ini ditandai dengan adanya
festival sastra Ukaz, di mana pemenangnya akan mendapat kehormatan berupa
dipamerkannya karya tersebut di Ka’bah dengan tulisan emas yang kemudian
dikenal dengan al-sab’ah al mu’allaqat[9].
Tujuh karya ini merupakan karya terbaik dari para penyair Arab dari berbagai
kabilah dan suku.
Bangsa
Arab menggunakan bahasa untuk mengungkapkan derajat yang tinggi dan luhur
dengan kefasihan lidahnya dalam mengungkapkan bahasa. Bahasa arab dipandang
memiliki bahasa yang padat, efektif dan singkat yang akhirnya digunakan dalam
Alquran sebagai bahasa mushaf resmi dan disepakati sampai sekarang. Di sinilah
kemukjizatan dinilai, yaitu dari ungkapan bahasa yang digunakan.
Dalam
perkembangannya, Bahasa Arab menyebar sampai ke luar jazirah Arab seiring
dengan menyebarnya agama Islam. Selain itu, Bahasa Arab menjadi symbol
nasionalisme Arab ketika Islam mulai menyebar ke berbagai wilayah. Dari
berbagai suku dan kabilah, bahkan bangsa yang berbeda, kemudian disatukan oleh
Bahasa Arab. Bahasa Arab dengan demikian menjadi identitas bangsa Arab. Inilah
yang kemudian mendorong dirumuskannya bahasa Arab baku yang harus disepakati
sebagai lingua franca.[10]
Bahasa
Arab masuk ke Indonesia seiring dengan masuknya Islam. Ini tidak bisa
dipungkiri, karena dominasi keagamaan dalam berbahasa Arab sangat kuat. Pesan
-pesan moral keagamaan ( Islam ) tertulis dalam bahasa Arab. Dengan kata lain
Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Masuknya bahasa Arab ke Indonesia pun membawa pengaruh dan
dampak yang cukup berarti dalam tatanan kebudayaan masyarakat. Dan proses
akulturasi budayapun menjadi satu keniscayaan.
Peranan
bahasa Arab dalam kebudayaan nasional telah mengambil bagian penting sejak
berkembangnya agama Islam di Nusantara pada abad XIII dan sampai saat ini masih
dirasakan peranannya secara leksikal maupun semantik. Hal ini terlihat pada
berbagai bidang. Misalnya pada upacara sekaten di Kraton Surakarta dan
Yogyakarta, upacara perkawinan, khataman, khitanan, kata sakral atau
mantera-mantera yang dipakai oleh masyarakat Indonesia adalah menggu-nakan
huruf atau kata-kata bahasa Arab. Bahkan ungkapan-ungkapan tertentu yang banyak
dipakai oleh masyarakat Indonesia secara meluas dan merakyat dengan menggunakan
bahasa Arab.
Dalam
hal pengajaran bahasa secara umum, termasuk bahasa Arab untuk orang non-Arab,
mengetahui budaya Arab merupakan hal yang lazim. Karena aspek bahasa bukan
hanya makna saja tetapi hal yang melingkupi konteks bahasa itu sendiri.[11]
Rusydi Ahmad Thu’aimah menyatakan bahwa bahasa adalah budaya. Kaitan ini sangat
erat karena lewat bahasalah unsur-unsur budaya dapat terhubung dengan jalinan
yang erat.[12] Sementara Albert Valdman mengemukakan bahwa untuk menjadi guru bahasa
asing, aspek mengenai budaya harus dikuasai juga, selain penguasaan struktur
bahasa itu sendiri. Meskipun budaya dalam arti yang minimalis mungkin. Karena
kalau harus mengetahui seluk-beluk budaya secara detail justru akan memerlukan
waktu yang lama untuk mempelajarinya. Karena lewat bahasa itu sendiri,
hakekatnya budaya sudah dipelajari.
Persoalan non linguistik ini juga menjadi kendala keberhasilan pembelajaran
yakni kondisi sosio-kultural bangsa Arab dengan non Arab (Indonesia). Problem
yang mungkin muncul ialah bahwa ungkapan-ungkapan, istilah-istilah dan
nama-nama benda yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia tidak mudah dan
tidak cepat dipahami oleh pembelajar Indonesia yang sama sekali belum mengenal
sosial dan budaya bangsa Arab. Contoh ungkapan “ السيل
الزبا بلغ ” /balagha al-sail
al-zuba, maknanya adalah “nasi telah menjadi bubur”, bukan “air bah telah
mencapai tempat tinggi”. Selain itu, peribahasa “الرماء تملأ الكنائن قبل ” /qabla al-rimâ’ tumla’u al-kanâin (sebelum memanah, penuhi dulu tempat anak
panahmu), di Indonesia, pribahasa ini sama maknanya atau diartikan dengan
pribahasa “sedia payung sebelum hujan”. Latar belakang sosial budaya orang Arab
dahulu adalah sering mengadakan perang, maka mereka mengatakan pribahasa
seperti itu. Sedangkan bangsa kita sering mengalami musim hujan, maka kita
menggunakan pribahasa itu.[13] Jadi, pengetahuan tentang
konteks sosio-kultural pemilik bahasa yang dipelajari sangat penting, karena
dengan pengetahuan tersebut diharapkan dapat lebih cepat memahami pengertian
dari ungkapan-ungkapan, istilah-istilah dan benda-benda yang khas bagi bahasa
Arab serta mampu menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut pada situasi dan waktu
yang tepat.
Bahasa
Arab diajarkan di Indoensia lebih dominan karena bahasa Arab merupakan bahasa
Alquran dan Hadits. Oleh karena itu
yang nampak dalam pengajaran Bahasa Arab adalah bahwa mempelajarinya sekaligus
mempelajari agama Islam. Dengan demikian sebetulnya mempelajari Bahasa Arab
adalah mempelajari budaya Islam. Inilah yang mendasari pentingnya mengajarkan
Bahasa Arab dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam.
C.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie, Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta, 2010
Duranti, Alessandro Linguistic Anthropology. Melbourne: Cambridge
University, 1997
Hitti,
Philip K. History Of The Arabs, terj. R. Cecep L.
Yasin dan Dedi S. Riyadi. Jakarta: Penerbit
Serambi, 2006 cet ke-2
Nababan, Sosiolinguistik: Suatu
Pengantar. Jakarta: PT Gramedia. 1984
Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002, Cet. I
Suriasumantri, Jujun S Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983
Thu’aimah, Rusydi Ahmad Ta’lim al
lughah al ‘Arabiyyah li Ghairi al Nathiqina biha; manahijuhu wa asalibuhu,
Rabat, 1989
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol 4, Jakarta: PT.
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993
Umam, Chatibul, Problematika Pengajaran
Bahasa Arab, Jurnal al-Turats, No. 8, 1999
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
diakses pada tanggal 16 Sept 2015, 09.13 WIB
[2] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 12-14
[3] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer. (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1983), hal. 177
[9]
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, terj. R. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi. (
Penerbit Serambi, Jakarta, 2006 ) cet ke-2. h. 112
[11] Rusydi Ahmad Thu’aimah, Ta’lim al lughah al
‘Arabiyyah li Ghairi al Nathiqina biha; manahijuhu wa asalibuhu, Rabat,
1989, h. 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar