Senin, 19 Oktober 2015

bahasa representasi budaya



BAHASA REPRESENTASI BUDAYA BANGSA

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Isu-Isu Kontemporer Kebahasaan



FERKI AHMAD MARLION


Magister Pendidikan Bahasa Arab
Fakultasi Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2015


BAHASA REPRESENTASI BUDAYA BANGSA

A.   PENDAHULUAN
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Secara sosiolinguistik, bahasa dan masyarakat adalah dua hal yang saling berkaitan, keduanya memiliki hubungan mutualistik; antara yang satu dengan yang lain saling ada ketergantungan, membutuhkan, dan menguntungkan. Ujaran dan bunyi jelas disebut sebagai bahasa jika berada dan digunakan oleh masyarakat. Demikian pula, masyarakat tidak dapat eksis dan bertahan (survive) tanpa adanya bahasa yang digunakan sebagai alat berinteraksi dan berkomunikasi di antara mereka.
Bahkan, lembaga–lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat pun dipertahankan dan dikembangkan dengan menggunakan alat yang bernama bahasa. Jadi, tiada aktivitas dalam kehidupan ini yang dapat dipisahkan dari bahasa.









B.   PEMBAHASAN
1.      Hakikat Bahasa
Menurut teori struktural, bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional. Berkaitan dengan ciri sistem, bahasa dapat bersifat sistematik dan sistemik. Bahasa bersifat sistematik karena mengikuti ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur. Bahasa juga bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem atau subsistem-subsistem. Misalnya, subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis, subsistem semantik dan subsistem leksison.[1]
Bahasa itu bersifat produktif, artinya dengan sejumlah unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Bahasa bersifat dinamis, maksudnya bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja; fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan leksikon. Bahasa itu beragam, artinya meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam. Bahasa itu bersifat manusiawi, artinya bahasa sebagai alat komunikasi verbal hanya dimiliki manusia.
Ciri-ciri bahasa seperti yang disebutkan di atas, yang menjadi indikator akan hakikat bahasa menurut pandangan linuistik umum yang melihat bahasa sebagai bahasa. Menurut pandangan sosiolinguistik, bahasa juga mempunyai ciri sebagai alat interaksi sosial dan alat mengidentifikasikan diri.[2]
Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling hubungan antar anggota. Untuk keperluan itu dipergunakan suatu wahana yang dinamakan bahasa.
Adanya bahasa memungkinkan manusia memikirkan sesuatu dalam benak kepalanya meskipun objek yang sedang dipikirkannya itu tidak berada di dekatnya. Manusia dengan kemampuan berbahasanya memungkinkannya untuk memikirkan suatu masalah secara terus menerus.
Dengan bahasa bukan saja manusia dapat berpikir secara teratur namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang ia pikirkan kepada orang lain. Dengan bahasa manusia dapat mengekspresikan sikap dan perasaan. Dengan adanya bahasa, hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik dinyatakan dengan bahasa.[3]
Di atas telah disebutkan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Jika kita mengkaji fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat secara lebih terperinci, kita dapat membedakan empat golongan fungsi bahasa: (1) fungsi kebudayaan, (2) fungsi kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, dan (4) fungsi pendidikan. Keempat macam fungsi itu tentu berkaitan juga, sebab ‘perorangan’ adalah anggota ‘masyarakat’ yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan pola-pola ‘kebudayaannya’ yang diwariskan dan dikembangkan melalui ‘pendidikan’.[4]

2.      Hakikat Kebudayaan
Kata budaya atau kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.[5]
Menurut Nababan, kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara dan dilestarikan. Dengan kata lain, kebudayaan itu adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan, termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan yakni bahasa dan alat-alat komunkasi non verbal lainnya.
Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Menurutnya, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan atau di bawah lingkup kebudayaan. Tetapi kata Koentjaraningrat pula, pada zaman purba ketika manusia hanya terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang tersebar di beberapa tempat saja di muka bumi ini, bahasa merupakan unsur utama yang mengandung semua unsur kebudayaan lainnya. Sekarang, setelah unsur-unsur lain dari kebudayaan manusia telah berkembang, bahasa hanya merupakan salah satu unsur saja. Namun fungsinya sangat penting bagi kehidupan manusia.[6]
Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kuntjaraningrat secara lebih terinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencarian serta sistem teknologi dan peralatan.
Salah satu cara berpikir tentang budaya adalah dengan mengkontraskannya dengan alam (nature). Alam mengacu kepada apa yang dilahirkan dan tumbuh secara organik sedangkan budaya mengacu kepada apa yang telah dikembangkan dan dipelihara.
Dari sudut pandang pemakaian bahasa dan pengajarannya, budaya dibagi ke dalam formal culture dan deep culture. Formal culture kadangkala mengacu kepada “culture with a capital C” meliputi manifestasi-menifestasi dan kontribusi kemanusiaan yakni seni, musik, karya sastra, arsitektur, teknologi, dan politik. Bagaimanapun dengan sudut pandang budaya seperti ini, kita sering kehilangan pandangan budaya dari sisi individual.
Deep culture atau “culture with a small c,” memfokuskan kepada pola-pola perilaku atau gaya hidup manusia. Kapan dan apa yang kita makan, sikap dan perilaku manusia kepada teman dan anggota keluarganya, bagaimana manusia berekspresi, yang mana yang mereka gunakan ketika menyetujui dan menolak.[7]
Dari beberapa pengertian budaya yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya adalah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, bahasa, teknologi serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain melalui tindakan manusia dan melalui komunikasi linguistik.
3.      Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw malah menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan dua sistem yang ”melekat” pada manusia. Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana.
Masinambouw juga mempersoalkan bagaimana hubungan antara kebahasaan dan kebudayaan itu, apakah bersifat subordinatif ataukah bersifat koordinatif. Kalau bersifat subordinatif mana yang menjadi main system dan mana pula yang menjadi subsystem. Kebanyakan ahli memang mengatakan bahwa kebudayaanlah yang menjadi main system, sedangkan bahasa hanya merupakan subsystem,
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yaitu hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang terikat erat seperti hubungan sisi satu dengan sisi yang lain pada sekeping uang logam. Jadi, pendapat ini mengatakan kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan, sejalan dengan konsep Masinambouw. Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat controversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir dan Whorf.
Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan kedua sarjana itu, Sapir dan Whorf, adalah hasil penelitian yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya sangat tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka disebutkan dalam hipotesisnya sangat kontroversial dengan pendapat sebagaian besar sarjana. Dalam hipotesis itu, dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikir manusia. Suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan memilki corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia tersebut bersumber dari perbedaan bahasa,. Bahasa itu memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya. Contoh, katanya dalam bahasa Barat ada sistem kala yaitu penutur bahasa memerhatikan dan terikat waktu, misalnya pada musim panas pukul 21.00 matahari masih bersinar dengan terang, tetapi kanak-kanak karena sudah menjadi kebiasaan disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala, menjadi tidak memperhatikan waktu, seperti acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu jam. Itulah sababnya uangkapan jam karet hanya ada di Indonesia.
Hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang arab, akan terlihat kenyataan secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Kalau hipotesis Sapir-Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan manusia mempunyai satu jalan pikiran. Dikemukakan oleh Masinambouw bahwa bahasa itu hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran dan bahasa itu bersifat unik. Dengan kata lain, bahasa tidak memengaruhi jalan pikiran, apalagi menentukan seperti yang dinyatakan oleh hipotesis Sapir-Whorf.
Sapir dan Whorf, dua sarjana linguistik yang begitu berbobot, sampai bisa membuat pernyataan yang begitu kontrovesional dengan mengatakan bahwa bahasa sangat berperan dalam menentukan jalan pikiran manusia, bahkan bersifat mutlak. Kajian antropologi yang dijadikan landasan, telah menunjukkan kepada kedua sarjana itu, bahwa pembentukan konsep-konsep tidaklah sama pada semua kultur. Para ahli yang menolak pendapat bahwa kita mempunyai konsep lebih dahulu kemudian baru mencarikan nama untuk konsep itu, tentunya bisa menerima pikiran Safir dan Whorf. Akan tetapi, penganut aliran mentalistik tidak dapat menerima sama sekali hipotesis tersebut.
Orang yang mengikuti hipotesis Sapir-Whorf tidak banyak. Pertama, karena sejak semula orang meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan yang sejauh itu. Kedua, diketahui kemudian bahwa Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajian.
Menurut Koentjaraningrat buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya, adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat negatif itu adalah suka meremehkan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin, enggan bertanggung jawab, dan suka latah atau ikut-ikutan.
Menurut Koentjaraningrat, sikap mental menerabas tercermin dalam perilaku berbahasa berupa adanya keinginan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tetapi tanpa keinginan untuk belajar. Mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa kita yang secara alami, yang dapat dikuasai tanpa harus dipelajari. Memang benar secara politis kita adalah orang Indonesia, karena lahir dan dibesarkan di Indonesia, dan bahasa Indonesia adalah milik kita. Akan tetapi, apakah benar itu dapat dikuasai dengan baik tanpa melalui proses belajar. Lebih-lebih kalau diingat bahwa bagi sebagian besar orang Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua, bukan bahasa pertama. Untuk menguasai bahasa pertama saja kita harus belajar dari lingkungan kita: apabila untuk menguasai bahasa kedua yang harus dipelajari dari orang lain.
Sikap tuna harga diri, menurut Koentjaraningrat, berarti tidak mau menghargai milik diri sendiri, tetapi sangat menghargai diri orang lain, orang asing. Sikap ini tercermin dalam perilaku berbahasa, karena ingin selalu menghargai orang asing, maka menjadi selalu menggunakan bahasa asing dan menomorduakan bahasa sendiri. Lihat saja buktinya, demi menghargai orang asing, keset-keset di muka pintu kantor pemerintahan pun bertuliskan kata-kata welcome bukan selamat datang; pintu-pintu di atas bertuliskan in atau exit, dan bukan masuk atau keluar; dan di pintu yang daunnya dapat dibuka dua arah bertuliskan petunjuk push dan pull, dan bukannya dorong dan tarik.
Sikap menjauhi disiplin tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti aturan atau kaidah bahasa. Ujaran-ujaran seperti Dia punya mau tidak begitu atau Dia punya dua mobil sudah lazim kita dengar, padahal kedua struktur kalimat itu tidak sesuai dengan kaidah yang ada. Harusnya berbunyi, Kemauannya tidak demikian, dan Dia mempunyai dua buah mobil.
Sikap tidak mau bertanggung jawab menurut Koentjaraningrat, tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau memerhatikan penalaran bahasa yang benar. Kalimat seperti “Uang iuran anggota terpaksa dinaikkan karena sudah lama tidak naik”, sering kita dengar. Kalau mau menalar dan bertanggung jawab, alasan kenaikan itu bukanlah karena sudah lama tidak naik, mungkin, misalnya, karena sudah tidak sesuai lagi dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Jadi, bertanggung jawab dalam berbahasa, artinya, dapat mempertanggungjawabkan kebenaran isi kalimat itu.
Sifat latah atau ikut-ikutan tercermin dalam berbahasa dengan selalu mengikuti saja ucapan orang lain (biasanya ucapan pejabat atau pemimpin) yang sebenarnya secara gramatikal tidak benar. Umpamanya karena adanya gerakan yang bersemboyankan “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” maka diikuti ucapan itu. Padahal secara semantik dan gramatikal ungkapan, “memasyarakatkan olahraga” memang benar, yakni berarti menjadikan olah raga itu menjadi kebiasaan dalam masyarakat; tetapi ungkapan, “Mengolahragakan masyarakat”, tidak benar, sebab ungkapan itu berarti „masyarakat itu jadi olah raga‟. Kalau yang dimaksud adalah menjadikan masyarakat itu berolah raga, maka bentuknya haruslah, “ memperolahragakan masyarakat”.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan yang telah dipaparkan oleh Koentjaraningrat di atas, ternyata yang memengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya di sini dalam arti luas, termasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur.
Untuk lebih memahami adanya hubungan budaya dan tindak tutur, serta melihat budaya-budaya yang tidak sama, sehingga melahirkan pola tindak tutur yang berbeda, camkan ilustrasi berikut. Dalam masyarakat tutur Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya dengan mengatakan “Bajumu bagus sekali!”, atau , “Wah rumah saudara besar sekali”, maka yang dipuji akan menjawab pujian itu dengan nada menolak merendah, misalnya dengan mengatakan “Ah, ini cuma baju murah kok” dan , “yah, beginilah namanya juga rumah di kampung!”. Akan tetapi kalau itu terjadi dalam budaya Inggris, tentu akan dijawab dengan kata “Terima kasih!”. Contoh lain, dalam budaya Indonesia hanya laki-laki yang dapat mengawini atau menikahi wanita, sedangkan wanita tidak dapat mengawini atau menikahi laki-laki, sebab kalimat dalam budaya Inggris, baik laki- laki maupun wanita dapat menikahi lawan jenisnya. Dalam budaya Indonesia, informasi (dalam bentuk tindak tutur) lebih sering disampaikan secara tidak langsung dengan menggunakan bahasa kias atau bahasa isyarat, tetapi dalam budaya Inggris lebih umum disampaikan secara langsung dengan alat komunikasi verbal.[8]
Dengan demikian menjadi jelas bahwa berbahasa memang menunjukkan bagaimana sebuah komunitas atau bangsa berbudaya. Antara berbahasa dan berbudaya menunjukkan hubungan timbal balik. Untuk mempertahankan budaya maka berbahasa menjadi sebuah kelaziman. Demikian juga untuk mempertahankan bahasa, keberlangsungan budaya sangat penting walaupun budaya adalah naluri dari kehidupan manusia itu sendiri sebagai makhluk social.

4.      Potret Bahasa dan Budaya Bangsa Arab
Adanya ragam bahasa dalam bahasa Arab, mulai dengan fusha dan ‘ammiyah, ragam baku dan non baku, dan sebagainya. Pada zaman pra-Islam, bangsa Arab sudah mengalami kemajuan dalam bidang sastra. Ini ditandai dengan adanya festival sastra Ukaz, di mana pemenangnya akan mendapat kehormatan berupa dipamerkannya karya tersebut di Ka’bah dengan tulisan emas yang kemudian dikenal dengan al-sab’ah al mu’allaqat[9]. Tujuh karya ini merupakan karya terbaik dari para penyair Arab dari berbagai kabilah dan suku.
Bangsa Arab menggunakan bahasa untuk mengungkapkan derajat yang tinggi dan luhur dengan kefasihan lidahnya dalam mengungkapkan bahasa. Bahasa arab dipandang memiliki bahasa yang padat, efektif dan singkat yang akhirnya digunakan dalam Alquran sebagai bahasa mushaf resmi dan disepakati sampai sekarang. Di sinilah kemukjizatan dinilai, yaitu dari ungkapan bahasa yang digunakan.
Dalam perkembangannya, Bahasa Arab menyebar sampai ke luar jazirah Arab seiring dengan menyebarnya agama Islam. Selain itu, Bahasa Arab menjadi symbol nasionalisme Arab ketika Islam mulai menyebar ke berbagai wilayah. Dari berbagai suku dan kabilah, bahkan bangsa yang berbeda, kemudian disatukan oleh Bahasa Arab. Bahasa Arab dengan demikian menjadi identitas bangsa Arab. Inilah yang kemudian mendorong dirumuskannya bahasa Arab baku yang harus disepakati sebagai lingua franca.[10]
Bahasa Arab masuk ke Indonesia seiring dengan masuknya Islam. Ini tidak bisa dipungkiri, karena dominasi keagamaan dalam berbahasa Arab sangat kuat. Pesan -pesan moral keagamaan ( Islam ) tertulis dalam bahasa Arab. Dengan kata lain Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Masuknya bahasa  Arab ke Indonesia pun membawa pengaruh dan dampak yang cukup berarti dalam tatanan kebudayaan masyarakat. Dan proses akulturasi budayapun menjadi satu keniscayaan.
Peranan bahasa Arab dalam kebudayaan nasional telah mengambil bagian penting sejak berkembangnya agama Islam di Nusantara pada abad XIII dan sampai saat ini masih dirasakan peranannya secara leksikal maupun semantik. Hal ini terlihat pada berbagai bidang. Misalnya pada upacara sekaten di Kraton Surakarta dan Yogyakarta, upacara perkawinan, khataman, khitanan, kata sakral atau mantera-mantera yang dipakai oleh masyarakat Indonesia adalah menggu-nakan huruf atau kata-kata bahasa Arab. Bahkan ungkapan-ungkapan tertentu yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia secara meluas dan merakyat dengan menggunakan bahasa Arab.
Dalam hal pengajaran bahasa secara umum, termasuk bahasa Arab untuk orang non-Arab, mengetahui budaya Arab merupakan hal yang lazim. Karena aspek bahasa bukan hanya makna saja tetapi hal yang melingkupi konteks bahasa itu sendiri.[11] Rusydi Ahmad Thu’aimah menyatakan bahwa bahasa adalah budaya. Kaitan ini sangat erat karena lewat bahasalah unsur-unsur budaya dapat terhubung dengan jalinan yang erat.[12] Sementara Albert Valdman mengemukakan bahwa untuk menjadi guru bahasa asing, aspek mengenai budaya harus dikuasai juga, selain penguasaan struktur bahasa itu sendiri. Meskipun budaya dalam arti yang minimalis mungkin. Karena kalau harus mengetahui seluk-beluk budaya secara detail justru akan memerlukan waktu yang lama untuk mempelajarinya. Karena lewat bahasa itu sendiri, hakekatnya budaya sudah dipelajari.
Persoalan non linguistik ini juga menjadi kendala keberhasilan pembelajaran yakni kondisi sosio-kultural bangsa Arab dengan non Arab (Indonesia). Problem yang mungkin muncul ialah bahwa ungkapan-ungkapan, istilah-istilah dan nama-nama benda yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia tidak mudah dan tidak cepat dipahami oleh pembelajar Indonesia yang sama sekali belum mengenal sosial dan budaya bangsa Arab. Contoh ungkapan “ السيل الزبا بلغ ” /balagha al-sail al-zuba, maknanya adalah “nasi telah menjadi bubur”, bukan “air bah telah mencapai tempat tinggi”. Selain itu, peribahasa “الرماء تملأ الكنائن  قبل ” /qabla al-rimâ’ tumla’u al-kanâin (sebelum memanah, penuhi dulu tempat anak panahmu), di Indonesia, pribahasa ini sama maknanya atau diartikan dengan pribahasa “sedia payung sebelum hujan”. Latar belakang sosial budaya orang Arab dahulu adalah sering mengadakan perang, maka mereka mengatakan pribahasa seperti itu. Sedangkan bangsa kita sering mengalami musim hujan, maka kita menggunakan pribahasa itu.[13] Jadi, pengetahuan tentang konteks sosio-kultural pemilik bahasa yang dipelajari sangat penting, karena dengan pengetahuan tersebut diharapkan dapat lebih cepat memahami pengertian dari ungkapan-ungkapan, istilah-istilah dan benda-benda yang khas bagi bahasa Arab serta mampu menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut pada situasi dan waktu yang tepat.
Bahasa Arab diajarkan di Indoensia lebih dominan karena bahasa Arab merupakan bahasa Alquran dan Hadits. Oleh karena itu yang nampak dalam pengajaran Bahasa Arab adalah bahwa mempelajarinya sekaligus mempelajari agama Islam. Dengan demikian sebetulnya mempelajari Bahasa Arab adalah mempelajari budaya Islam. Inilah yang mendasari pentingnya mengajarkan Bahasa Arab dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam.




C.    KESIMPULAN



DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta, 2010
Duranti,  Alessandro Linguistic Anthropology. Melbourne: Cambridge University, 1997
Hitti, Philip K. History Of The Arabs, terj. R. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi. Jakarta: Penerbit Serambi, 2006 cet ke-2
Nababan, Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia. 1984
Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002, Cet. I
Suriasumantri, Jujun S Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983
Thu’aimah, Rusydi Ahmad Ta’lim al lughah al ‘Arabiyyah li Ghairi al Nathiqina biha; manahijuhu wa asalibuhu, Rabat, 1989
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol 4, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993
Umam, Chatibul,  Problematika Pengajaran Bahasa Arab, Jurnal al-Turats, No. 8, 1999
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya diakses pada tanggal 16 Sept 2015, 09.13 WIB






[1] Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik Umum, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), Cet. I, hal. 1
[2] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 12-14
[3] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983), hal. 177
[4] Nababan, Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. (Jakarta: PT Gramedia. 1984), hal. 38
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya diakses pada tanggal 16 Sept 2015, 09.13 WIB
[6] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, . . ., hal. 164-165
[7] Alessandro Duranti,  Linguistic Anthropology. (Melbourne: Cambridge University, 1997), hal. 24
[8] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, . . ., hal. 165-171
[9] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, terj. R. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi. ( Penerbit Serambi, Jakarta, 2006 ) cet ke-2. h. 112
[10] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol 4 ( PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993) h. 2-4
[11] Rusydi Ahmad Thu’aimah, Ta’lim al lughah al ‘Arabiyyah li Ghairi al Nathiqina biha; manahijuhu wa asalibuhu, Rabat, 1989, h. 18
[12] Ibid, hal. 28
[13] Chatibul Umam, Problematika Pengajaran Bahasa Arab, Jurnal al-Turats, No. 8, 1999, h. 11-12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar